Sa'ad ibn Abi
Waqqas ialah salah seorang sahabat terawal memasuki Islam pada 610H. Beliau
berpangkat bapa saudara kepada Nabi Muhammad s.a.w. kerana beliau merupakan
sepupu ibu bagainda Aminah binti Wahab yang merupakan suku kaum Bani Zuhrah Makkah
dari suku Quraisy dan berasal dari kota. Abdurrahman bin Auf merupakan sepupu
beliau . Beliau mempunyai tubuh yang agak rendah tetapi tegap. Rambutnya hitam
dan lebat. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi
kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meskipu beliau berasal dari Makkah, ia
sangat benci pada agama dan cara hidup yang dianuti oleh masyarakatnya. Ia
membenci amalan penyembahan berhala yang di Makkah, dan Beliau telah memeluk
agama Islam ketika berumur 17 tahun.
Pekerjaan beliau semasa di kota
Makkah adalah pembuat busur dan anak panah. Kerana itu, dia juga cekap dalam
kemahiran memanah. “Aku adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan
aku adalah orang yang pertama kali memanah musuh di jalan Allah.” Demikianlah
Sa’ad bin Abi Waqqash memperkenalkan dirinya.
Sa'ad juga pernah dipukul dengan
teruk oleh para pemuda Makkah lantaran pengisytiharannya memasuki Islam.
Malahan ibunya juga mengugut untuk tidak mahu makan jikalau beliau tidak mahu
menjadi kafir semula, namun Sa'ad tetap teguh dengan aqidahnya dgn menjawab
"Walaupun ibu mempunyai seribu nyawa dan nyawa ibu itu ditarik satu
persatu yakni , aku tetap dengan agamaku ini". Namun Sa'ad berkata bahwa
meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada ibunya, namun kecintaannya pada
Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar. Mendengar kekerasan hati Sa'ad,
ibunya akhirnya menyerah dan makan kembali. Fakta ini memberikan bukti kekuatan
dan keteguhan iman Sa'ad bin Abi Waqqas. Pada masa-masa awal sejarah Islam.
Mengenai anggapan bahwa Sa’ad
adalah orang yang pertama sekali melemparkan anak panah di jalan Allah,
dikisahkan bahwa suatu ketika kaum muslimin Makkah sedang mengerjakan shalat di
lorong-lorong jalan yang ada di Makkah
secara sembunyi-sembunyi. Namun sebagian kaum musyrikin melihat mereka, lalu
kaum musyrikin pun menyerang kaum muslimin, maka Sa’ad bin Abi Waqqash bangun
dan langsung menyerang , mereka. Dia memanah salah seorang dari mereka hingga
darah mengalir dari tubuh orang tersebut. Inilah darah pertama yang ditumpahkan
oleh umat Islam akibat konflik antara umat Islam dengan orang kafir. Konflik ini
kemudian menjadi batu ujian keimanan dan kesabaran umat Islam. Beliau menjadi
orang pertama menumpahkan darah dalam sejarah Islam.
Beliau terlibat dalam
Pertempuran Badar bersama saudaranya yang bernama Umair bin Abi Waqqas yang
kemudian syahid bersama 13 pejuang Muslim lainnya. Dalam Pertempuran Uhud,
bersama Zaid, Sa'ad terpilih menjadi salah satu pasukan pemanah terbaik Islam.
Saad berjuang dengan gigih dalam mempertahankan Rasulullah SAW setelah beberapa
pejuang Muslim meninggalkan posisi mereka. Sa'ad juga menjadi sahabat dan
pejuang Islam pertama yang tertembak panah dalam upaya mempertahankan Islam.
Sa’ad tidak pernah ikut serta dalam satu pertempuran, kecuali ia akan membawa anak panah tersebut, dan hal itu terus dilakukannya hingga dia meninggal dunia.
Pada hari yang menyedihkan itu, datanglah Ummu Aiman untuk memberi minuman kepada para pasukan yang terluka dalam medan perang. Tiba-tiba seorang kafir melemparnya dengan anak panah, hingga dia pun terjatuh dan auratnya terbuka. Orang kafir tersebut pun tertawa. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengambil sebuah anak panah, lalu beliau bersabda kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad, lemparlah (anak panah ini)! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”
Demikianlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggabungkan penyebutan nama ayah dan ibu beliau ketika meminta sesuatu kepada Sa’ad, dan hal itu belum pernah beliau lakukan terhadap siapapun, kecuali kepada Sa’ad radhiallahu ‘anhu. Setelah Sa’ad melepaskan anak panah, anak panah tersebut tepat mengenai leher orang kafir itu, hingga ia pun tewas seketika. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa, lalu beliau bersabda, “Sa’ad telah melakukan pembalasan untuknya (untuk Ummu Aiman). Semoga Allah mengabulkan doanya.”
Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap peperangannyaa adalah “anak panah yang diberkahi” dan “doa yang dikabulkan” itu. Sa’ad selalu teringat akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditujukkan kepadanya, “Makanlah yang baik-baik, wahai Sa’ad, niscaya doamu akan dikabulkan.”
Dia juga teringat sabda Rasulullah lainnya, “Ya Allah, tepatkanlah lemparannya dan kabulkanlah doanya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya itu, maka Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun menjadi pemanah jitu dan doanya selalu terkabulkan.
Sa'ad merupakan sahabat yang berjasa besar dalam mengetuai tentera Islam untuk melumpuhkan seluruh kekuatan angkatan perang Parsi. Kerana kejayaannya menewaskan tentera Parsi dalam peperangan yang dikenali sebagai Perang al-Qadisiyyah, Sa'ad digelar Pahlawan Qadisiyyah. Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan daripada orang yang pernah turut serta dalam perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam Baiah Ridwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam pembukaan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan.
Adapun doa yang selalu dikabulkan merupakan senjata kedua yang dipergunakan oleh Sa’ad dalam berperang melawan musuh-musuh Allah. Pintu-pintu langit selalu terbuka untuk menyambut setiap doa yang dipanjatkan Sa’ad. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan selalu mengabulkan doa dan permintaan Sa’ad kapan saja dia berdoa dan meminta kepada-Nya.
Sa’ad mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil, sedangkan dia sendiri telah tua, sebab ia tergolong terlambat memiliki anak. Ketika Sa’ad sakit keras hingga hampir saja dia wafat, dia pun berdoa kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil-kecil, maka tangguhkanlah kematianku hingga mereka baligh (dewasa).”
Allah pun menangguhkan kematian Sa’ad dua puluh tahun lagi hingga semua anaknya telah besar (dewasa).
Suatu hari ada seorang laki-laki yang mencaci ‘Ali radhiallahu ‘anhu, Thalhah, dan Zubair. Melihat itu, Sa’ad pun melarang orang itu agar tidak melakukan hal tersebut, namun orang itu tak mau berhenti dari perbuatannya, bahkan dia terus mengulangi perkataannya itu. Karenanya, Sa’ad berkata, “Hentikanlah perbuatanmu ! Jika kamu tidak mau, maka aku akan berdoa untuk kejelekan dirimu!”
Orang itu berkata dengan nada mengejek, “Kamu mengatakan hal itu seolah-olah kamu adalah seorang nabi hingga doamu pun pasti dikabulkan.”
Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun berdiri, lalu dia berwudhu, dan melakukan shalat dua rakaat. Setelah itu dia berdoa untuk kejelekan orang tersebut. Tidak berselang lama, orang laki-laki itu pun menjadi sebuah pelajaran dan bukti yang memperlihatkan kepada Sa’ad bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerima doanya. Tiba-tiba keluarlah seekor unta yang kuat yang datang dengan membabi buta, sepertinya ia sedang mencari seorang laki-laki yang di doakan oleh Sa’ad teersebut. Ketika melihat laki-laki tersebut, unta itu langsung menendang orang tersebut dengan menggunakan kaki-kakinya hingga orang itu pun jatuh ke tanah. Unta itu masih terus menendang dan menginjak orang tersebut hingga dia mati.
Ketika pemerintahan Khulafa al-Rasyidin ketiga, Uthman bin Affan, Sa'ad dilantik untuk mengetuai rombongan umat Islam ke tanah besar China untuk menyebarkan agama Islam di sana sekaligus menyebabkan Sa'ad dikenali sebagai perintis kepada pemulaan tamadun Islam di China. Sa`d terkenal kerana peranannya dalam penaklukan Empayar Parsi pada 636H dan pemergiannya ke China pada 616H dan 651H.
Sa'ad juga merupakan salah satu sahabat yang dikarunai kekayaan yang juga banyak digunakannya untuk kepentingan dakwah. Ia juga dikenal karena keberaniannya dan kedermawanan hatinya. Sa'ad hidup hingga usianya menjelang delapan puluh tahun.
Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Sebagian kaum muslimin saling berperang dengan sebagian yang lainnya. Adapun Sa’ad berrusaha menjauhkan diri dari fitnah tersebut. Dia juga tidak turut berperang dalam kubu ‘Ali ataupun Muawiyah. Akan tetapi, dia lebih memilih untuk tinggal di Madinah yang berada jauh dari tempat terjadinya dan dia menjadi wali (gubernor) disana.
Menjelang wafatnya, Sa'ad dipanggil oleh Allah pada tahun 54 H di pangkuan anaknya. Sa'ad meminta puteranya untuk mengafaninya dengan jubah yang ia gunakan dalam perang Badar. Kafani aku dengan jubah ini karena aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini.
Wallahua'lam